728x15 Ads

Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme

0 komentar
F_Budi_Hardiman_Sekularisme_Liberalisme_Pluralisme
Buletin Kebebasan Edisi No. 03/V/2007
SEKULARISME, LIBERALISME DAN PLURALISME
F. Budi Hardiman (Dosen STF. Driyarkara) 
Buletin Kebebasan, No. 03/v/2007

Saya akan menjelaskan tiga “isme” yang sejak orde baru memenuhi lanskap politik masyarakat kita, namun  sayang sekali, ketiganya juga kerap disalah mengerti. Yang dimaksud adalah “sekularisme”, “liberalisme” dan “pluralisme”. Para ulama, khususnya yang bersentuhan dengan dimensi kekuasaan, melihat “sekularisme” sebagai lawan main mereka. “Liberalisme”, sekurangnya yang banyak disalah mengerti dinegara kita, lebih dilihat sebagai ideologi ekonomis yang adalah lawan main sosialisme. Dan yang muncul terakhir dan kerap dikaitkan dengan pandangan-pandangan dalam kebudayaan, pluralisme, adlaah lawan main para fundamentalis religius, seperti juga sekularisme. Apakah sebenarnya ketiga “isme” itu? Kita mencoba mengerti ketiganya agar tidak terlalu terburu-buru mengecam atau melaknatkan mereka.
 
Sekularisme
Sekularisme berbeda dari sekularisasi. Distingsi ini perlu ditegaskan agar kita tidak mencampuradukan sebuah proses sosial dengan sebuah ideologi. Sekularisasi adalah sebuah proses pemisahan institusi-institusi dan simbol-simbol religius. Kebijakan-kebijakan Negara yang mengatur sebuah masyarakat tidak lagi didasarkan pada norma-norma agama, melainkan pada asas-asas non-religius, seperti: etika dan pragmatisme politik. Kelahiran Negara nasional dan Negara konstitusional di zaman modern menandai proses ini. Konstitusi Negara modern tidak lagi didasarkan pada doktrin-doktrin religius, seperti pada Negara-negara tradisional di Eropa abad pertengahan, melainkan pada prosedur-prosedur birokratis rasional yang mengakui kesamaan hak dan kebebasan setiap warga Negara.

Mengapa masyarakat modern menempuh jalan sekularisasi? Dalam masyarakat tradisional, ada kesatuan utuh agama dan politik. Otoritas politis berhimpit dengan otoritas religius, sehingga kebijakan-kebijakan politis dilegitimasikan lewat alasan-alasan religius. Pencampuradukan kedua macam otoritas itu merugikan kebebasan, karena (1) Otoritas politis tidak merasa cukup dengan wewenangnya atas wilayah publik dan ingin juga memberikan regulasi dalam ruang privat seperti yang dilakukan oleh otoritas religius, dan (2) pikiran kritis dicurigai sebagai unsure subversive yang melemahkan kepatuhan kepada otoritas. Sekularisasi adalah upaya memberi batas-batas diantara kedua bidang itu dengan memandang keduanya otonom, yakni yang satu tidak dapat direduksi kepada yang lain. Dengan sekularisasi, urusan-urusan religius dianggap beroperasi di dalam ruang privat, tercakup dalam kebebasan subjektif individu untuk menemukan jalan hidupnya. Efek positif sekularisasi adalah toleransi agama, sebab doktrin-doktrin dan nilai-nilai religius tidak lagi dikalkulasi di dalam politik.
 
Kita berbicara tentang sekularisme jika kita memusatkan perhatian kita pada efek negatif sekularisasi. Sekularisasi dapat mendorong kepada ekstrem atau ekses, yakni suatu sikap berlebih-lebihan untuk menyingkirkan segala alas an, motif atau dimensi religius sebagai omong kosong. Pandangan-pandangan seperti ateisme, materialisme dan saintisme merupakan berbagai aspek dalam sekularisme. Sekularisme dalam arti ini bukanlah sebuah proses sosial-epistemologis, melainkan sebuah ideologi dengan kesempitan berpikir yang tidak dapat mentoleransi eksistensi agama di dalam masyarakat majemuk. Jika agama menghasilkan fundamentalisme religius, proses sekularisasi juga dapat menghasilkan suatu fundamentalisme tertentu, yakni fundamentalisme profane. Itulah sekularisme.
 
Jadi, disini kita dapat mengatakan bahwa sekularisasi adalah proses yang wajar di dalam modernisasi, karena pemisahan antara agama dan Negara memang diperlukan untuk memungkinkan kebebasan dan keadilan dalam masyarakat majemuk, namun sekularisme harus diwaspadai. Untuk masyarakat kita yang cenderung religius, sekularisme bukanlah ancaman real; fundamentalisme agamalah yang merupakan ancaman real bagi kemajemukan. Yang sebaliknya juga harus dikatakan: sekularisme bukanlah solusi untuk masalah kemajemukan, sebab sekularisme adalah bentuk intoleransi terhadap agama manapun yang merupakan anggota masyarakat majemuk. Yang dibutuhkan masyarakat kita adalah tingkat sekularisasi tertentu (baik secara struktural maupun kutural) agar dapat bersikap “fair” terhadap kemajemukan orientasi nilai di dalam masyarakat kita. Kebijakan-kebijakan politis yang berorientasi agama tertentu, misalnya, tidak dapat begitu saja dijadikan norma publik untuk mengatur keseluruhan masyarakat, karena akan bersikap tidak fair terhadap kelompok-kelompok lain bahkan dalam agama yang sama.
 
LiberalismeLiberalisme adalah ideologi modern parexcellence, karena ia muncul bersamaan dengan modernisasi dan segala pertentangan ideologis dalam masyarakat modern tak lain daripada pertentangan dengan liberalisme, sehingga cerita tentang modernitas tak kurang dari cerita tentang liberalisme dan para lawannnya. Kita dapat mulai dari mana saja untuk menjelaskan liberalisme, namun dalam kaitannya dengan sekularisme dan pluralisme, kita harus mulai dari satu dimensi sosial yang lalu menentukan hubungan antara agaman dan Negara, yaitu pasar dan hak-hak milik pribadi. Minat liberalisme adalah kebebasan dan bentuk kebebasan yang spesifik di sini adalah kebebasan indvidu. Dalam arti ini, liberalisme sangat sensitif terhadap kolektivisme dan absolutisme kekuasaan.
 
Ekonomi tidak dapat tumbuh jika terus diintervensi oleh Negara, maka leiberalisme sejak awal mendukung ekonomi pasar bebas. Di dalam pasar orang tidak membeda-bedakan latar-belakang agama dan kebudayaan. Yang penting transaksi itu fair. Dengan kata lain, di dalam transaksi orang melihat agama partner transaksinya sebagai urusan privatnya yang tidak relevan untuk proses pertukaran dalam pasar. Pola transaksi yang melihat agama sebagai persoalan privat yang tidak relevan untuk proses pertukaran itu oleh liberalisme diaplikasikan di dalam hubungan yang lebih luas, yaitu di dalam Negara modern.
 
Di dalam diskusi etika kontemporer, kerap dikatakan bahwa liberalisme membedakan antara the problem of justice dan the problem of good life. Yang pertama adalah masalah-masalah yang melampaui kelompok-kelompok atau nilai-nilai etnis dan religius, seperti masalah ekonomi, masalah keadilan distributive dan masalah-masalah teknis praksis pengelolaan manajemen birokrasi Negara. Yang kedua adalah masalah-masalah nilai-nilai spesifik suatu kelompok etnis atau religius tertentu di dalam sebuah masyarakat modern, seperti ajaran-ajaran agama, nilai-nilai tradisi kutural, atau norma-norma yang terkait dengan komunitas partiklar tertentu. Kepercayaan sebuah komunitas agamaakan keselamatan melalui kepatuhan pada norma-norma agamanya, misalnya, bagi liberalisme adalah the problem of good life yang tidak bisa diuniversalkan sebagai keyakinan publik dalam masyarakat majemuk. Jadi, jika pemerintah menetapkan aturan-aturan agama tertentu bagi masyarakat luas yang juga terdiri atas para penganut agama lain, pemerintah semacam ini bertindak di luar wilayah kewenangannya. Wilayah kewenangan pemerintah hanyalah berurusan dengan the problem of justice yang menjadi kepentingan bersama yang menjadi interseksi kepentingan-kepentingan berbagai orientasi nilai dalam masyarakat majemuk.
 
Liberalisme ekonomi mengandung bahaya tertentu, yaitu intoleransi terhadap mereka yang dimarginalisasikan secara ekonomis oleh mekanisme pasar bebas itu. Namun liberalisme yang berkaitan dengan pendirian intelektual dan sikap-sikap politis justru membantu sebuah masyarakat untuk toleran terhadap kemajemukan. Jika Negara berkonsentrasi pad the problem of justice dan tidak mengintervensi the problem of good life yang adalah kewenangan kelompok-kelompok dalam masyarakat itu, Negara akan menjadi milik bersama kelompok-kelompok sosial itu dan tidak bersikap diskriminatif. Negara liberal berupaya bersikap netral terhadap agama-agama di dalamnya. Dan ini justru mendukung kebebasan individu. Di sini liberalisme dapat juga dilihat sebagai hasil dari sekularisasi yang tidak secara mutlak perlu bermuara pada sekularisme. Artinya, suatu Negara liberal tidak harus sekularistis, yakni ingin menyingkirkan agama di dalamnya. Negara liberal juga bisa memiliki resprk terhadap agama, namun regulasi-regulasinya tetap secular. Ia bersikap netral dari agama, namun member infrastruktur yang adil bagi agama-agama untuk berkembang, sebab para anggota agama-agama itu adalah juga warga negaranya. Adalah terlalu terburu-buru dan berlebih-lebihan mengecam liberalisme sebagai ancaman. Liberalisme justru merupakan kondisi bagi toleransi dan apa yang sebantar lagi kita ulas: pluralisme.
 
Pluralisme
Jika sekularisme berkonfrontasi dengan agama dan liberalisme bersentuhan dengan pasar, pluralisme adalah sebuah pandangan yang beroperasi di dalam kebudayaan dalam bentuk sikap-sikap yang menerima kemajemukan orientasi-oriesntasi nilai di dalam masyarakat modern. Dasar pluralisme adalah the fact of plurality, yakni suatu kenyataan bahwa jika sebuah masyarakat mengalami modernisasi, masyarakat itu mengalami pluralisasi nilai di dalam dirinya. Sekularisasi adlah langkah pertama bagi pluralisasi itu, karena sekarang bidang politik dan agama tidak lagi satu bidang melainkan dua. Namun langkah berikutnya: bidang privat, yaitu masyarakat itu sendiri lewat liberalisasi berpikir dan liberalisasi moralnya, mengalami pluralisasi, karena terbantu aneka ragam kelompok sosial dengan macam-macam nilai religius dan kutural di dalamnya.
 
Pluralitas tidak serta merta memunculkan pluralisme, karena tidak semua orang setuju pluralitas. Kaum konservatif dan monatis, misalnya, akan meratapi pluralitas sebagai simtom disintegrasi sosial dan moral. Namun ada kelompok-kel0mok yang menerima pluralitas sebagai kenyataan hidup bersama dan mencoba hidup bersama secara toleran. Kelompok-kelompok ini bisa berasal dari kalangan agama, cendekia, politikus, atau budayawan. Pandangan yang menerima pluralitas sebagai sebagai realitas hidup bersama dan mencoba mengembangkan sarana-sarana moral dan intelektual untuk membuka ruang kebebasan dan toleransi bagi aneka orientasi nilai etis, religius ataupun ataupun politis di dalam masyarakat modern itu kan sebut pluralitasme.
 
Jika kita menilik ke belakang, ke dalam sejarah agama-agama itu, kita tidak dapat memisahkan agama dari kebudayaan. Setiap agama “tertanam” dan tumbuh dalam konteks kebudayaan dan juga sejarahnya, maka pluralitas juga menandai sejarah setiap agama. Tidak hanya satu Kristen, satu Hindu, satu Islam atau satu Budhisme, karena di tiap kebudayaan berkembang cara-cara dan simbol-simbol spesifik dalam menghayati Tuhan. Simbol-simbol itu bahkan ‘dipinjam’ dari konteks kebudayaan tertentu, misalnya Jawa, Romawi, India atau Arab. Namun tak semua kelompok agama mau bersikap fair terhadap fakta pluralitas di dalam agama-agama ini. Kelompok-kelompok macam ini – diantara mereka konservatif garis keras – terobsesi kepada sebuah fiksi bahwa agama mereka itu homogeny dan murni dari unsure-unsur kebudayaan. Fiksi itu sudah barang tentu berbahaya sekali karena menjadi intoleran terhadap kemajemukan kebudayaan dan agama.
 
Kelompok-kelompok agama yang menerima fakta kemajemukan bahkan di dalam agama mereka sendiri serta mencoba mengembangkan sebuah teologi pluralis sering dicurigai sebagai sesuatu yang merongrong integritas iman, padahal mereka ini bisa saja justru mendorong cara-cara beriman yang dewasa dan terbuka terhadap perubahan dan perbedaan di dalam masyarakat modern. Mereka dituduh sebagai relativistis. Relativisme adalah pandangan bahwa tidak ada kebenaran mutlak lintas agama dan kebudayaan, karena kebenaran itu tergantung kepada kebudayaan, agama dan sejarah. Padahal seorang pluralis tidak otomatis bersikap relativis.
 
Toleransi Militan
Pada akhir ulasan ini saya ingin mencoba melontarkan sebuah konsep premature tentang toleransi militan. Seorang yang militan tidak harus intoleran terhadap pluralisme nilai. Begitu juga seorang yang toleran tidak harus bersikap relativis dan ‘lunak’ terhadap imannya sendiri. Orang bisa menjadi seorang yang toleran sekaligus militan. Apa maksudnya? Seorang yang memiliki toleransi militan bukanlah seorang yang toleransinya muncul dari sikap laissez faire terhadap imannya sendiri sehingga ia tanpa pendirian bergaul dengan para warga Negara dari iman-iman yang lain tanpa mempedulikan iman-iman mereka pula. Seorang yang toleran secara militan adalah seorang yang menerima fakta kemajemukan orientasi religius, dan penerimaan ini tidak muncul dari ketidakpedulian terhadap imannya sendiri, melainkan justru muncul dari imannya yang dewasa dan terbuka.
 
Toleransi militan bukanlah sikap netral, melainkan suatu pemihakan. Pemihakan kepada apa? Jawabanya adalah: kepada kebebasan dan keadilan. Seorang toleran yang militan mungkin berasal dari kelompok mayoritas, namun ia tidak menggunakan “kuasa mayoritas” (yang tak lain daripada sekedar kuantitas dan bukan kualitas) untuk cukup merasa nyaman dengan posisinya. Sebaliknya, dia justru berhati-hati terhadap posisinya itu yang sangat rentan terhadap distorsi dan penyalahgunaan. Seorang toleran yang militan-dari imannya sendiri- berjuang membuka ruang-ruang kebebasan bagi terwujudnya kehidupan bersama di dalam masyarakat majemuk.
Lanjut Baca … Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme

Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi

1 komentar
Buku Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi yang ada di tangan pembaca ini merupakan refleksi pemikiran M. Dawam Rahardjo tentang perlunya mempertimbangkan pandangan alternative atas sejumlah persoalan ekonomi, meskipun terbatas dari perspektif keislaman, akan tetapi gagasan yang dikandungnya bukan merupakan terjemahan dari sesuatu yang abstrak, atau berdasarkan kepada doktrin keagamaan yang parokial.

Pandangannya justru diangkat dari persoalan empirik yang nyata. Seperti dalam tulisan “Perkembangan Islam Indonesia di Bidang ekonomi” atau “Pasang Surut Pengusaha Muslim Indonesia” menyuarakan keprihatinan para pengusaha yang kebetulan beragama Islam yang senantiasa dianak tirikan bahkan dipinggirkan. Kenyataan tersebut lebih banyak dikarenakan pertimbangan ideologis dan politis bukan persoalan ekonomis
Lanjut Baca … Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi

Islam dan Transformasi Budaya

0 komentar
Buku Islam dan Transformasi Budaya ini merupakan percikan refleksi M. Dawam Rahardjo mengenai pencarian ideologis tentang peran agama dalam membaca dan memberikan jawaban terhadap perubahan sosial.  kedatangan Islampun merupakan antithesis terhadap kondisi masyarakat jaman jahiliyah.

Namun kini persoalan umat Islam seperti kemiskinan, kebodohan, ketimpangan sosial, pendidikan dan lain-lain. Beberapa langkah teologis perlu direnungkan kembali dan dicarikan pelaksanaanya secara kreatif.

Bagi Dawam ada dua hal yang perlu menjadi perhatian: Pertama, langkah hermenetis, dalam rangka mencari makna dan simbol-simbol untuk membedakan yang perennial dan modern. Kedua, analisis sosial pencarian bentuk modern dengan memahami dialektika sejarah.

Islam dan Transformasi Budaya
M. Dawam Rahardjo
ISBN:979-8633-35-0
LSAF 2002

Lanjut Baca … Islam dan Transformasi Budaya

Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi

0 komentar
Buku Indonesia dalam Transisi Menuju Demokrasi ini, bercerita tentang pandangan beberapa tokoh mengenai Indonesia dalam persimpangan menuju demokrasi. proses transisi tersebut dikaji lebih mendalam lewat buku ini.

Bagi Indonesia yang telah memasuki tahap transisi menuju demokrasi, masih terdapat kemungkinan untuk mengalami kemunduran atau gelombang balik. Huntington menyebut tujuh factor yang dianggap menjadi penghambat sebuah transisa disamping bisa menjadi pendorong. Factor-faktor negara dalam transisi diantaranya ,: lemahnya nilai-nilai demokratis baik dikalangan elite maupun masyarakat umum; kemunduran ekonomi yang parah dapat menimbulkan konflik dan menjatuhkan legitimasi pemerintah yang berkuasa;

Factor-faktor transisi negara  tersebut bisa kita lihat di Indonesia sekarang ini yang belum bias menuntaskan kasus-kasus KKN dan pemulihan ekonomi; masih terjadinya polarisasi politik; runtuhnya supremasi hukum dan ketertiban umum yang bias memancing turunnya militer. Pada dasarnya yang menyebabkan turunnya kembali militer dan rezim otoriter adalah kegagalan rezim demokratis dalam mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat banyak, kemakmuran, pemerataan, keadilan, ketertiban domestic dan keamanan eksternal.

Buku Indonesia dalam transisi menuju demokrasi ini berupaya melihat dinamika wacana demokratisasi di era transisi. Buku ini merupakan hasil dari pergulatan pemikiran dalam mengisi masa transisi menuju demokrasi tepatnya tahun 1999, sebagai sebuah lembaga studi, LSAF memilih berpartisipasi didalam dinamika tersebut. Dari serial diskusi tersebut lahirlah buku yang berada ditangan budiman sekarang. Didalamnya terekam jejak pemikiran-pemikiran dari berbagai disiplin, mulai dari politisi, dosen, LSM, agamawan, sosiolog, mahasiswa dan pers.

Demikian sedikit tentang  buku terbitan LSAF Press  Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi, semoga bermanfaat
Lanjut Baca … Indonesia Dalam Transisi Menuju Demokrasi

Jurnal Ulumul Qur'an (UQ) edisi Perdana tahun 1989

3 komentar
Assalamu’alaikum
Ucapan salam Perdana Jurnal Ulumul Qur’an tahun 1989
M. Dawam Rahardjo

Semoga inilah jurnal yang ditungu-tunggu itu. Gagasan untuk menerbitkan sebuah jurnal ilmu dan kebudayaan yang disemangati oleh nur al-Qur’an, sebenarnya sudah lama. Ini dicetuskan diberbagai seminar, diskusi maupun percakapan informal. Selama lebih dari dua tahun, kami, di Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) mempersiapkannya, dari segi konsep, bahan-bahan maupun modalnya. Setelah brosur Ulumul Qur’an (UQ) kami sebarkan, begitu banyak sambutan yang telah kami terima. Ratusan diantaranya telah membayar, walaupun belum melihat majalahnya sendiri. Kami terharu dan berterima kasih atas kepercayaan yang dikreditkan kepada kami.

UQ ingin hadir dengan sebuah kepribadian. UQ sebenarnya merupakan sebuah respon terhadap seruan ayat 1, surat al-Alaq: “Iqra”, yang pernah membawa ummat kejalan ilmu pengetahuan dan peradaban baru. Cahaya itu, sudah lama hampir padam di dunia Islam, walaupun menyala bagaikan matahari dibagian-bagian dunia lain. UQ ingin mencoba mengobarkan nyala itu kembali.

Di kawasan pemikiran di Dunia Islam, kita melihat ada empat tema besar yang kini sedang digarap. Tema-tema itu berkaitan satu satu sama lain, namun kesemuanya mengacu ke jurusan yang sama: kebangkitan peradaban profetik yang sangat dibutuhkan dalam masa peralihan abad ini.

Tema pertama adalah kembali kepada al-Qur’an. Para ulama dan sarjana Muslim melihat perlunya kita memahami kembali al-Qur’an dalam cahaya baru. Cahaya baru ini perlu, karena dunia di mana kita hidup ini sudah dan sedang mengalami perubahan. Kita memerlukan hermenetika baru untuk bisa memahami dunia yang sedang berubah ini. Sebaliknya, untuk bisa menangkap isyarat zaman, kita memerlukan cara baru untuk menangkap ilmu-ilmu al-Qur’an. Murtadha Muthahhari pernah mengatakan hal ini dan untuk sebagian telah dimulai oleh Thabathabai’I, Yusuf Ali, Muhammad Asad dan Fazlur Rahman.

Islamisasi ilmu dan teknologi, adalah tema kedua, yang menjadi pokok pembahasan dalam regional Islamic Conference for Asia and Pasific baru-baru ini di Indonesia. Pelopor tema ini adalah Ismail Faruqi, yang nampaknya beroleh gaung paling kuat di bidang ekonomi, politik, antropologi dan kedokteran. Pengertian, metodologi maupun pokok-pokok pembahasan (subject matter) nya, memang masih banyak mengandung kontroversi. Tapi dari sini justru akan tumbul dinamika. UQ ingin mendorong dinamika ini.

Tema ketiga adalah, aktualisasi tradisi ilmu pengetahuan, baik yang klasik maupun yang lebih modern, yang pernah dikembangkan atas nama Islam atau bangsa-bangsa Muslim. Khazanah intelektual Islam, untuk meminjam istilah Dr Nurcholish Madjid perlu digali, dinilai kembali tapi juga perlu diapresiasi, dicari relevansinya dan seterusnya dikembangkan dengan pengetahuan-pengetahuan baru. Dengan cara ini, maka peradaban kaum muslimin di zaman modern, tidak akan kehilangan akar sejarahnya atau tercerabut dari budaya tradisional yang tidak semuanya perlu dibuang. Sayyed Hussein Nashr telah banyak merintis ke jalan ini.

Menggali dan mengaktualisasi Kitab Kuning, merupakan tema yang ramai akhir-akhir ini di lingkungan pesantren yang juga akan di garap oleh UQ ini.

Terakhir adalah tema futurologist, yang mengantisipasi kejadian masa depan. Ziauddin Sardar, yang pernah bertukar pikiran dengan Alvin Toffler dalam satu siaran TV di Washington, adalah pemikir muslim yang banyak menggarap tema ini. Berbeda dengan Toffler yang mengikuti garis linier dalam melihat masa depan, Sardar mengantisipasikan peradaban alternatif yang dibutuhkan ummat manusia yang mengalami krisis fundamental dewasa ini. Perhatian yang paling besar terhadap soal ini memang datang dari ahli-ahli fisika, komunikasi dan bio-teknologi, namun tokoh ekonom semacam Kenneth Boulding, yang menganut Quaker, juga menampilkan gagasan tentang perlunya membangkitkan ajaran-ajaran agama profetik, guna menyelamatkan peradaban ummat manusia dari krisis global. Sangat berharga kiranya jika UQ ikut mengembangkan tema ini.

Secara keseluruhan, UQ ingin tampil secara artistik dan sekaligus popular dan komunikatif. Penampilan ini tidak hanya akan muncul dalam bentuk puisi, vignette, kaligrafi, cerpen atau esai-esai kebudayaan, melainkan juga dalam keseluruhan tulisan, gambar atau tata letaknya. Pendalaman rohani memang jadi perhatian jurnal ini., tetapi kami ingin kesegaran, di samping rangsangan terhadap pemikiran kreatif. Semoga kami bisa memenuhi harapan pembaca, yang kami sadari, sangat beragam. Bimbingan dari Allah jualah yang kami harapkan, dalam memenuhi harapan pembaca
Lanjut Baca … Jurnal Ulumul Qur'an (UQ) edisi Perdana tahun 1989

Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution

0 komentar
Buku_Agama_Refleksi_Pembaharuan_Pemiiran_Islam_Indonesia_Harun_Nasution
Pembaruan Pemikiran Islam Indonesia merupakan isu yang menarik, sekaligus kontropersial. Isu ini mengandung pro dan kontra, dan merupakan dinamika yang hidup dan menyegarkan.

Pembaruan Pemikiran Islam bukan barang yang langsung jadi, pembaruan adalah proses dialektis yang sangat panjang, dari tiap generasi pembaruan senantiasa hadir sebagai wacana alternatif bagi kejumudan pemikiran keislaman yang sedang berkembang.

Dipenghujung tahun 1989, hadir sebuah buku untuk mengenang 70 Tahun Harun Nasution, yang bisa dikatakan bapak Pembaruan Islam Indonesia. Buku ini memuat berbagai tulisan yang menyoroti aspek-aspek penting dalam perkembangan pemikiran Islam.

Buku ini mencoba memberikan prespektif yang lebih luas tentang locus perdebatan sekitar isu-isu pembaruan pemikiran Islam tersebut. Dalam buku ini juga dimuat kesan dan pandangan murid dan orang-orang yang dinilai cukup banyak mengetahui tentang pribadi beliau, seperti: Deliar Noer, Nurcholish Madjid (Cak Nur), Karel A. Steenbrink, Franz Magnis Suseno, T.B. Simatupang, S. T. Alisjahbana, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, dan pemikir-pemikir lainnya yang sekarang cukup berpengaruh di Indonesia.
Lanjut Baca … Refleksi Pembaharuan Pemikiran Islam; 70 Tahun Harun Nasution

Buku Reorientasi Pembaruan Islam; Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia

0 komentar
Buku Reorientasi Pembaruan Islam; buku ini merupakan buku kajian filsafat yang cukup paradigmatik. konsep besar seperti Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme sebagai narasi-narasi besar dalam kajian Filsafat digali lebih intens dalam buku ini, tiga narasi besar filsafat tersebut kemudain disandingkan dengan Islam. Islam dalam hal ini sebagai salah satu ajaran yang luhung, dan pandangan tokoh-tokoh Islam yang menganggap masih terdapat benang merah antara keislaman dengan tiga narasi besar tersebut.

Buku ini merupakan penggabungan dari 4 (empat) monograf sederhana yang dibuat untuk melihat perkembangan pemikiran Islam mutakhir di Indonesia-yang boleh dianggap sebagai agenda baru atau reorientasi pembaruan Islam. Kajian pertama berisi survey atas lembaga-lembaga Islam Progresif yang mewacanakan sekularisme, liberalisme, dan pluralisme. Bagian kedua mengurai argumen Islam untuk sekularisme, bagian ketiga, mengurai argumen Islam untuk liberalism dan bagian keempat mengurai argumen Islam untuk pluralisme.

Buku ini merupakan hasil dari penelitian dari bahan-bahan tertulis, pertemuan dan wawancara dengan tokoh-tokoh “Islam Progresif” dan tokoh lintas agama. Buku ini berisi penggalian atas argumen-argumen keislaman, sekularisme, liberalism, dan pluralism untuk memperkuat dan meneguhkan-secara teologis- pembelaan terhadap kebebasan beragama di Indonesia.

Buku Reorientasi Pembaruan Islam ini memotret tentang perkembangan pemikiran Islam dewasa kini yang sedang dalam masa pertumbuhan yang sangat pesat. Dari pemetaan pemikiran keislaman tentang sekularisme, liberalism dan pluralisme ini diharapkan membantu terciptanya masa depan kebebasan beragama di Indonesia yang lebih baik.
Lanjut Baca … Buku Reorientasi Pembaruan Islam; Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme Paradigma Baru Islam Indonesia

Share